Pesta di Maumere, Flores sebagai Koreografi Sosial: Kacamata Tiga Aktor
Preliminary Research Archiving
Tulisan ini adalah sebuah presentasi singkat dan refleksi dari riset awal (preliminary research) atas praktik budaya ‘pesta’ warga di Flores yang dihipotesiskan sebagai sebuah koreografi sosial. Gagasan tentang pesta sebagai ‘koreografi sosial’ pertama kali lahir dari pertanyaan-pertanyaan berikut: ‘apa itu budaya tari (dance culture) bagi kami orang Maumere? Bilamana dan dimana tari itu dipentaskan? Bagaimana warga memberi ‘nilai’ pada budaya tari tersebut? Secara spontan, jawaban kami atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah bagi kami, budaya tari terlepas dari bentuknya, hadir, dipraktikan oleh semua kalangan, dan terus-menerus berkembang di tenda-tenda pesta warga. Pesta bukan hanya situs melainkan juga praktik yang jadi bagian perkembangan peradaban dan karena itu merekam keseluruhan perubahan sosial budaya. Pesta tentu saja digerakkan dan turut menggerakkan dinamika sosial di sekitarnya.
Pesta sebagai koreografi sosial lantas didekati dengan perspektif invisible dance (tari tak kasat mata) yang diadopsi dari gagasan teater tak kasat mata (invisible theatre) Agusto Boal.
Dari Tari Tak Kasat Mata ke Koreografi Sosial
Gagasan invisible theatre dikembangkan di Brasil oleh seorang praktisi teater Agusto Boal (1931-2009). Gagasan teater ini adalah salah satu bagian dari mahakaryanya Theatre of The Oppressed (1979). Gagasan teaternya yang paling umum memegang prinsip bahwa teater adalah bagian dari sebuah gerakan dan perubahan sosial. Berbeda dengan gagasan teater Aristotelian yang menekankan efek ‘katarsis’ dari sebuah pertunjukan terhadap penontonnya, Boal berpendapat bahwa teater mesti menjadi sarana emansipasi kesadaran dan perjuangan kelas. Secara lebih radikal, ia menyebut teater sebagai “latihan revolusi” (rehearsal of the revolution). Bagi Boal, agenda politik memerlukan solusi estetik.
Teater tak kasat mata adalah salah satu metode yang ditawarkan Boal di samping beberapa metode lain di antaranya photo-romance, breaking of repression, myth theatre, analytical theatre, ritual and masks, termasuk yang paling terkenal yakni forum theatre. Teater tak kasat mata dikembangkan dalam konteks rezim diktator yang menggila dan menjadi sangat represif di Brasil serta Argentina pada era 1960-an.
Prinsip utama dari teater tak kasat mata adalah hubungan teater yang erat dan dekat dengan kenyataan yang berdaya guna menunjukkan penindasan dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan sehari-hari, tanpa penonton atau “penonton-aktor” mengetahuinya. Prinsip utama dari teater tak kasat mata adalah menyajikan pertunjukan teater tanpa terlihat sebagai pertunjukan. Pertunjukan ini dilakukan di tempat umum, seperti jalanan atau pusat perbelanjaan. Aktor menyamar agar penonton tidak menyadari bahwa mereka sedang menonton pertunjukan, sehingga menciptakan peristiwa yang tampak nyata dan spontan.
Tujuannya adalah memprovokasi reaksi, diskusi, dan refleksi di antara penonton, mengubah pengaturan sehari-hari menjadi ruang teater yang tak terduga. Dalam keadaan tertentu, teater tak kasat mata juga dapat menjadi sosiometri bagi satu isu sosial tertentu. Respons sosial terhadap satu isu diuji. Tingkat empati dan kesadaran diukur lewat dilema-dilema yang dihadirkan dalam satu peristiwa teater.
Lebih dari pada sebuah teori, prinsip ‘tak kasat mata’ yang diadopsi dalam invisible dance (tari tak kasat mata) adalah sebuah proposal ‘cara melihat dan membaca’ gerak, tari, koreografi yang sehari-hari berlangsung dalam kehidupan warga masyarakat tetapi kerap tidak disadari atau ditunjuk sebagai gerak, tari, koreografi karena wacana tentang tari telah terkonstruksi secara ketat oleh rezim estetika konvensional tertentu. Dengan demikian, spektrum telaah ‘tari tak kasat mata’ menjangkau praktik-praktik tari dan koreografi kontemporer maupun tradisional yang dalam wacana punya ‘isu kategorisasi’ hingga praktik-praktik sosial-budaya warga sehari-hari yang punya daya menggerakan atau mengkoreografi pola-pola interaksi tertentu.
Dalam konteks yang lain, tari tak kasat mata juga menyelidiki motif dan modus gerak sosial yang berpola dan merangsang perubahan-perubahan sosial tertentu dalam masyarakat. Pola-pola ini kerap tidak disadari keberlangsungannya karena kelaziman dan keterbatasan refleksi atasnya. Gerak berpola ini bisa berupa interaksi sosial atau gerak mekanis tertentu yang seolah-olah tidak dipengaruhi oleh apapun.
Salah satu teori koreografi sosial yang bisa dirujuk antara lain yang dikemukakan oleh Andrew Hewitt. Menurut Hewitt, koreografi tidak semata perkara estetika tetapi melaluinya dinamika struktur dan interaksi sosial bisa dilacak. Merujuk pada sejarah tari dan teori kritis, Hewitt menunjukkan bahwa ideologi perlu dipahami sebagai sesuatu yang diwujudkan dan dipraktikkan, bukan hanya sebagai bentuk kesadaran abstrak. Menurutnya, koreografi juga adalah gerak dalam struktur sosial-politik, terutama keteraturan dan keseragaman subjek yang bergerak oleh dan dalam struktur.
Pola atau keteraturan dalam suatu struktur sosial dikoreografi oleh wacana atau rezim pengetahuan dan habitus tertentu yang bersifat dominan. Koreografer, dalam hal ini, bisa berwujud macam-macam: pengetahuan, budaya, militer, politik, ekonomi hingga agama. Melalui konsep “koreografi sosial”, Andrew Hewitt menunjukkan bagaimana koreografi tidak hanya berfungsi sebagai metafora bagi modernitas, tetapi juga sebagai cetak biru struktural untuk memikirkan dan membentuk organisasi sosial modern.
Dengan pendekatan tari tak kasat mata, bentuk-bentuk gerak, tari, koreografi yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari diamati dan dianalisis hubungan-hubungannya yang identik dengan gagasan koreografi sosial.
Dua Metode Riset: Riset Lapangan dan Penciptaan Koreografi
Riset ini berlangsung di Maumere, secara lebih spesifik di pesta-pesta di Maumere. Riset meliputi pembacaan kembali arsip-arsip sejarah tentang perayaan-perayaan budaya di Maumere, pengamatan atas tari tradisional di Maumere, dan juga partisipasi dalam beberapa pesta yang diadakan di Maumere dengan kesadaran pengamatan yang lebih mendalam. Riset dilakukan oleh seniman dan periset seni dengan proyeksi memproduksi kembali pengetahuan melalui media kesenian.
Secara umum proses riset pertama-tama dimulai dengan melakukan pengayaan literatur maupun wawancara dengan tokoh-tokoh budaya untuk mendapat pengetahuan awal mengenai pesta yang berlangsung di konteks Maumere. Selanjutnya para periset datang dan mengalami pesta dengan kesadaran untuk mengamati dan merekam peristiwa demi peristiwa serta gerak aktor-aktor penting di acara tersebut, dalam periode waktu tertentu untuk menemukan struktur tertentu. Struktur itu kemudian dibandingkan dengan pengetahuan tentang pembagian babak-babak dalam sebuah pesta yang sudah dimaklumi sebagai kebiasaan. Para periset kemudian memutuskan untuk secara spesifik dan detail mengamati beberapa aktor yang krusial dalam sebuah pesta, merekam gerak mereka, dan mewawancarai mereka terkait gerak yang mereka lakukan serta hal-hal di balik semua itu. Keluaran dari proses ini adalah pengetahuan yang dijadikan pijakan untuk sebuah koreografi work in progres tentang pesta di Flores.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada kalimat terakhir di atas, dari rekaman yang ada, para periset mengidentifikasi beberapa gestur dan gerak dari para aktor yang diamati. Setelah melakukan identifikasi, gerak-gerak tersebut kemudian diimprovisasi seperlunya, kemudian dikodifikasi dalam satu sekuens. Kode-kode tersebut kemudian disusun dalam satu komposisi koreografi yang menghadirkan gerak, cerita, dan wacana tentang aktor-aktor di pesta dan pesta di Maumere sebagai sebuah situs sosial budaya.
Koreografi tersebut kemudian dipresentasikan dalam bentuk video, disebar ke Youtube dan juga dipraktikkan di beberapa pesta. Keseluruhan proses ini melibatkan seorang pelatih tari dan senam yang juga adalah guru di SMK Yohanes XXIII beserta para muridnya.
Kacamata Tiga Aktor
Pesta modern di Maumere adalah evolusi dari pesta-pesta yang terintegrasi dalam praktik budaya suku-suku di Flores, terutama suku Krowe yang secara dominan menetap di wilayah Kabupaten Sikka saat ini. Sebagaimana pesta-pesta tradisional, pesta modern di Maumere sangat dekat dengan siklus hidup manusia: kelahiran, akil balik, pernikahan, kematian dan perayaan-perayaan syukur lainnya. Pesta, dalam keluasan evolusi bentuknya pada dasarnya merupakan sebuah perayaan. Spirit perayaan inilah yang tidak pernah hilang hingga saat ini.
Pesta di Maumere juga selalu bersifat kolektif. Pesta bukan perayaan seorang, pasangan, atau sebuah keluarga. Pesta tradisional adalah hajatan seluruh suku, seluruh komunitas adat. Suku Krowe bahkan mewajibkan sebuah pesta untuk memberi makan banyak orang/ ‘riwung ngasung’ sebab tak ada yang boleh terlewat diperhatikan dalam sebuah perayaan. Dengan demikian, sebuah pesta harus disiapkan oleh seluruh keluarga, melibatkan para tetangga dan semua kerabat dalam satu komunitas budaya. Yang disiapkan tidak hanya berupa bahan-bahan material tetapi juga urun kerja dan urun bahagia. Kesuksesan sebuah pesta adalah kesuksesan seluruh kampung.
Dari sisi bentuk, sebuah pesta di Maumere selalu memiliki beberapa bagian penting dan berlaku umum, antara lain ritus doa, ucapan selamat, makan bersama, dan menari bersama. Perayaan apapun, dengan varian bentuk yang lebih spesifik, setidaknya memuat unsur-unsur ini. Ritus dan doa belakangan mulai digantikan dengan upacara keagamaan. Sementara makan bersama bisa terbagi menjadi dua bagian, yaitu makan bersama khusus keluarga yang mengadakan pesta dan makan bersama para undangan umumnya. Makan bersama biasanya dilakukan juga untuk mempererat tali silaturahmi, berbagi kabar, dan mempererat kebersamaan. Menari/joget adalah bagian yang mengikuti makan bersama. Para keluarga maupun undangan merayakan sukacita dengan menari bersama. Ditemani moke, minuman beralkohol hasil sadapan nira, arena/medan joget dibuka untuk semua orang tanpa pandang bulu.
Meski begitu, pesta di Maumere berbeda dengan pesta atau ‘party’ yang terjadi di club atau pub. Tradisi pesta yang ada di masyarakat Maumere merepresentasikan kolektivitas, kebersamaan, berbagi sumberdaya, transaksi kultural, serta nila-nilai seperti kebersamaan, persaudaraan, dan kebahagiaan. Dari evolusi bentuk-bentuk pesta yang berlangsung di masyarakat, dapat diasumsikan bahwa pesta di Flores bernegosiasi dengan dinamika sosial dan budaya di Maumere.
Dalam observasi awal, amatan dilakukan terhadap tiga subjek yang menjadi aktor kunci dari setiap pesta. Pertama adalah anak kolong, kedua mama-mama pemasak, dan ketiga opreter.
Ana Kolong - The Uninvited, The One Who Get Place
Anak Kolong adalah sebutan bagi orang-orang (sekelompok orang) yang tidak diundang tetapi datang mengikuti perayaan pesta. Anak Kolong biasanya anak muda laki-laki. Mereka datang mencari minum (moke) dan lantai dansa. Di pesta, mereka bisa cari perhatian dengan orang yang mereka sukai. Ada yang berujung pacaran, ada yang berujung perkelahian. Motif utama mereka adalah bersenang-senang.
Anak Kolong biasanya baru beraksi ketika acara bebas berlangsung. Acara bebas ditandai dengan mulai terbentuknya lantai dansa di tengah-tengah tenda pesta. Pada waktu ini, semua orang akan antusias menari. Gerombolan Anak Kolong akan masuk ke tenda pesta, menerobos ke tempat hidangan disediakan atau melingkar di kursi-kursi di tenda pesta, ke tempat moke tersedia.
Berbeda dari party crasher, meski tak diundang, Anak Kolong selalu diberi tempat di pesta. Tuan rumah dengan tahu dan mau akan menyiapkan ruang serta jamuan bagi Anak Kolong. Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu dilakukan guna mengurangi potensi kerusuhan jika mereka tidak diberi tempat. Meski begitu, kebanyakan orang percaya kalau pada dasarnya, setiap pesta tidak boleh menolak tamu sebab itu menyalahi nilai tradisi. Yang paling praktis, kehadiran Anak Kolong menjaga pesta berlangsung aman dan nyaman hingga dini hari.
Terma Anak Kolong sendiri baru santer terdengar di era-90an. Dari tradisi pesta yang hidup sebelumnya di Maumere, pesta selalu bernuansa kolektif. Tidak ada pemisahan antara ‘undangan’ dan bukan undangan. Pemisahan hanya berlaku antara keluarga inti yang mengadakan pesta dan khalayak banyak. Karena pesta selalu bersifat kolektif, siapapun boleh datang dan berpartisipasi tanpa ada kurasi dalam bentuk ‘undangan’.
Pesta dengan undangan tak terbatas ini juga dibentuk oleh corak ruang hidup dan tinggal yang cenderung homogen, berasal dari satu suku/tradisi yang sama. Belum ada model pemukiman klaster yang tiap klasternya terdiri dari keluarga-keluarga yang tidak memiliki pertalian atau hubungan kekerabatan sebagaimana pemukiman di kota-kota serta kompleks metropolitan. Orang-orang yang hidup di satu komunitas kultural dengan hubungan kekerabatan tentu jadi bagian dari satu pesta yang berlangsung di komunitas tersebut. Pesta satu keluarga adalah pesta satu komunitas.
Kemunculan fenomena kemudian terma Anak Kolong adalah bagian dari dinamika sosial budaya yang berlangsung di Maumere, secara lebih spesifik di sekitar ruang tradisi pesta dilangsungkan. Kampung yang cenderung homogen berubah menjadi kota yang lebih heterogen. Terma Anak Kolong menandai pola relasi sosial yang kian berlapis dan berjarak. Model hunian berubah, interaksi antar-manusia berubah, nilai-nilai dan praktik-praktik tradisi bernegosiasi dengan perubahan-perubahan ini.
Di Maumere, pesta biasanya berlangsung di halaman kampung, atau halaman rumah. Kini, ketika pembangunan makin marak dan keluarga-keluarga kian kehilangan pekarangan, pesta mulai diberlangsungkan di gedung dengan undangan yang makin ketat. Partisipasi tetangga dan keluarga dibatasi. Anak Kolong pun tak banyak mengambil bagian dalam pesta-pesta seperti ini.
Anak Kolong menandai dinamika setting spasial, interaksi sosial, struktur Kampung, dan sistem sosial-ekonomi yang mengalami modernisasi di Maumere.
Mama-mama Pemasak - The Bodies of Backstage
Di Maumere, nilai dan kualitas sebuah pesta bisa diukur dari kualitas makanan. Kualitas makanan bisa dirujuk dari siapa yang memasak. Tukang masak di sebuah pesta adalah peran yang sentral. Peran ini dijalankan oleh mama-mama. Mama-mama pemasak adalah tulang punggung pesta. Marwah sebuah pesta dijaga oleh mama-mama tukang masak. Tanpa mama-mama tukang masak, sebuah pesta tidak bisa berjalan.
Mama-mama pemasak ini biasanya dipimpin oleh seorang tukang masak yang sudah teruji kualitas masakannya. Sepak terjang tukang masak yang hebat biasanya tersebar dari bibir ke bibir. Menjadi bahan gosip dan memberinya status kultural yang penting di kalangan warga. Jika warga mendengar namanya ada di sebuah pesta, ‘harga’ pesta itu seketika turut naik. Kualitas pesta, sekali lagi ditentukan oleh kualitas makanan, ditentukan oleh tukang masak.
Tukang masak biasanya bertanggung jawab atas seluruh proses di dapur. Ia menawarkan menu. Mengorganisir pembantaian hewan. Membagi tugas para mama yang lain sesuai dengan kebutuhan menu, mulai dari menyiapkan beras, mengupas atau memotong sayur, menyiapkan bumbu, memasak, hingga menyiapkan makanan di meja makan. Mereka akan bangun di saat subuh, dan baru pulang ketika memastikan semua undangan makan dan minum sampai puas.
Rata-rata undangan sebuah pesta berkisar antara 300-500 undangan. Di Maumere, jumlah undangan ini harus dikali dua untuk memperoleh total jumlah orang yang akan makan. Sebab, seseorang undangan akan membawa anggota keluarga atau kerabat dan temannya untuk ikut resepsi sebuah pesta. Sementara, menu di sebuah pesta di Flores sekurang-kurangnya nasi, sup dan soto, tiga sampai empat jenis lauk sapi atau babi dan ikan atau variasi di antara ketiganya, mie, sayur, sambal, kerupuk, dan pencuci mulut berupa es buah atau puding. Makanan harus enak, selalu panas dan segar dan tak boleh kurang.
Yang penting ditandai dari mama-mama tukang masak adalah model kerja kolektif dan koordinasi yang berlangsung. Pemimpin masak sebenarnya tidak berasal dari luar kerabat atau tetangga. Juru masak yang dipakai di satu pesta biasanya berasal dari keluarga atau komunitas tempat hidupnya. Untuk satu hajatan pesta, biasanya seluruh mama-mama di sekitar rumah pesta datang dan urun membantu memasak. Mereka datang membawa alat kerja seperti pisau dari rumah masing-masing untuk membantu persiapan hajatan. Di masa yang lebih tua, mama yang datang biasanya membawa serta bahan-bahan yang dibutuhkan tuan pesta seperti kayu api, kopi, gula, garam, cabe, bawang, bumbu-bumbu bahkan hewan (biasanya dari pihak keluarga). Interaksi yang berlangsung adalah interaksi kultural, mirip dengan model arisan modern.
Di pesta modern, model ini terdistorsi oleh kehadiran sistem catering. Sistem ini tidak membutuhkan kerja kolektif, urun masak dari para tetangga. Kehadiran chef profesional menggantikan peran mama-mama tukang masak. Model transaksi menjadi sangat ekonomis. Tidak ada sharing resource sebagaimana yang terjadi ketika proses memasak dilakukan secara kolektif. Pilihan menggunakan catering biasanya didasari oleh alasan efektivitas dan efisiensi, khas modernisme.
Dinamika ini tentu berkaitan dengan dinamika yang ditandai sebelumnya, dengan penekanan yang lebih spesifik pada peran dan interaksi kultural yang cenderung terdistorsi oleh model-model interaksi ekonomi modern.
Opreter - The Visible, The Invisible
Musik memainkan peran yang sama penting dengan makanan bagi sebuah pesta di Maumere, Flores. Pesta tanpa musik, tak ada joget. Tanpa joget pesta seperti manusia tanpa kaki. Lumpuh.
Kultur musik di Maumere, dimulai dengan tradisi korak, kemudian gong waning. Korak secara harfiah berarti tempurung kelapa. Pada zaman dahulu, tempurung kelapa adalah instrumen yang dipakai untuk mengiringi lagu dan tetarian. Tempurung kelapa dipukul menggunakan bilah bambu, memperdengarkan sebentuk tone dengan irama tertentu untuk membangkitkan semangat. Orang tua-tua menyanyikan syair, sahut-menyahut dengan warga yang berpaduan suara. Setelah gong masuk ke wilayah Maumere, ia kemudian menjadi alat musik yang mengiringi tarian. Ia berpadu dengan gendang dari kulit hewan. Tidak jauh beda dari korak, permainan gong waning mempertunjukan corak ritmis yang kental. Variasi instrumental lain adalah kekor (suling) gendang atau orkes dawai berupa teren bas, serupa kontrabas yang diletakkan tertidur dan dimainkan dengan cara dipukul dengan aneka juk (serupa ukulele) dan violin. Meski instrumen yang belakangan disebut sudah mulai dimainkan dengan skala solmisasi modern, corak musik yang dimainkannya tidak jauh berbeda dari tradisi ritmis korak dan gong waning.
Kultur ritmis ini membentuk tradisi musik dan tetarian yang bersemangat dalam masyarakat yang hidup di Maumere. Jika dahulu ritual dan perayaan diiringi korak dan gong waning, kini pesta-pesta di Maumere diiringi sound system yang menggelegar dengan aneka musik dari seluruh penjuru dunia.
Pesta tanpa disadari menjadi medan bagi tradisi musikal di Flores untuk terus-menerus bertransformasi dalam aneka bentuk dan pendekatan dari zaman ke zaman. Pesta juga jadi tempat aneka tradisi musikal bertemu. Spektrum musikal yang luas dan beragam bisa bertaut di tenda-tenda pesta di Maumere dan Flores umumnya. Lagu ja’i dari Bajawa, lagu-lagu Minang, dangdut, ska, reggae dan disko, dinikmati di tenda-tenda pesta. Lagu-lagu tradisional digubah ulang dengan ragam pendekatan, organ tunggal, band, disc jockey dengan beragam genre: disko, pop daerah, dangdut, dan banyak lagi. Pesta jadi panggung, etalase, sekaligus pasar yang kontekstual bagi praktik musikal maupun ‘industri kreatif’ di Flores.
Sayangnya, dalam banyak sudut pandang, tradisi ini kerap dianggap ‘kelas dua’ bukan musik intelek, bahkan bukan bentuk kesenian. Anggapan ini tentu berakar pada perasaan inferior dan kesadaran yang kerap irasional, bahwa bentuk atau skena musik ‘yang tinggi’ adalah yang skalanya ‘nasional’ atau ‘global’ dengan ukuran-ukuran ‘industrial’ di Jawa atau ‘Barat’, lengkap dengan segala kemajuan infrastrukturnya.
Sedemikian urgennya musik di pesta, kualitas pesta bisa diukur dari musik yang menggelegar. Ukuran musik yang menggelegar adalah ‘dapur getar’. Dapur bisa getar kalau kualitas subwoofer kencang. Artinya vendor sound system harus punya spesifikasi alat yang berkualitas. Sebuah pesta di Maumere bisa dinilai dari vendor sound system mana yang dipakai ketika pesta berlangsung. Namun, selain vendor sound system, ada hal lain yang turut mendukung kualitas lantai dansa: opreter, the man behind the sound system. Sound system bagus tetapi opreter bagus, kualitas lantai dansa bakal pincang. Begitu pun sebaliknya.
Opreter adalah sebutan bagi seorang yang menyusun playlist dan menuntun pemutaran musik selama acara bebas berlangsung. Para opreter handal dibekali referensi lagu pesta yang kaya. Lagu-lagu itu biasanya disimpan di ponsel mereka dan hanya akan dikeluarkan ketika peran mereka dibutuhkan. Selain referensi lagu pesta, mereka juga harus bisa membaca mood lantai dansa. Mereka harus bisa memainkan dinamika dan dramaturgi acara bebas, sehingga orang-orang bisa betah menari. Mereka harus bisa mengakomodasi semua permintaan lagu secara adil dan demokratis, seturut keinginan para pejoget.
Opreter tidak tampil sebagaimana disc jockey. Mereka ada di belakang pemutar musik, tersembunyi dari sorotan cahaya lampu. Tubuh mereka tidak hadir di panggung pun lantai dansa. Mereka hadir lewat musik-musik yang mereka pilih, lewat keriuhan pesta, lewat jiwa-jiwa yang pulang ke rumah masing-masing setengah sadar dan cerita dari mulut ke mulut. Dari kacamata invisible dance, opreter adalah performer tak kasat mata dari keseluruhan pesta, dari keseluruhan bisnis hiburan, bahkan dari keseluruhan interaksi sosial sehari-hari. Padahal peran opreter di sebuah pesta sungguh besar, termasuk agensi mereka dalam seluruh siklus preservasi seluruh evolusi musik tradisi seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Kini opreter berhadapan dengan kemunculan disc jockey, band, atau organ tunggal. Sejauh ini mereka belum tergantikan. Namun, gerak sosial masih akan terus berlangsung di masa depan. Amatirisme dan profesionalisme terus mengalami tegangan.
Gerak-gerak anak kolong, mama-mama, dan opreter kemudian diamati dan dicobakan dalam improvisasi. Gerak-gerak yang dipilih (dikodifikasi) kemudian disusun jadi satu komposisi ‘goyang ragam’. Goyang ragam sendiri santer di pesta-pesta di Flores. Biasanya goyang ragam ini adalah perpaduan beberapa jenis tari, kemudian disusun dalam satu komposisi koreografi baru. Ada lokalnya, ada khazanah globalnya. Contoh goyang ragam yang popular adalah goyang Sajojo, Poco-poco, Tobelo, atau Gemu Fa Mi Re. Di komposisi yang berbasis pada gerak tubuh aktor-aktor di pesta-pesta di Flores, lagu Dikideng yang dinyanyikan Alfred Gare dan Pax Grup dipilih sebagai musik pengiring. Lagu ini sangat tenar di pesta-pesta. Koreografi goyang ragam ini kemudian diberi judul: Goyang Dikideng, Goyang Ragam Kultur Pesta di Maumere. Bisa disaksikan mulai dari menit ke 23:50 pada tautan video berikut: https://s.id/goyangmaumere.
Kesimpulan
Kultur pesta di Maumere adalah bagian integral dari budaya dan tradisi yang memberi penghargaan yang tinggi pada perayaan dan ucapan syukur dalam seluruh siklus kehidupan. Kultur pesta yang berlangsung di Maumere saat ini adalah bagian dari dinamika sosial budaya yang berlangsung sepanjang waktu. Pesta di Maumere yang secara tradisional bersifat kolektif serta punya penekanan yang kuat pada kohesi sosial pelan-pelan berhadapan dengan modernisasi dan logika-logika ekonomi di baliknya.
Anak Kolong menandai dinamika setting spasial, interaksi sosial, struktur kampung, dan sistem sosial-ekonomi yang mengalami modernisasi di Maumere. Mama-mama menandai betapa peran dan interaksi kultural kini cenderung terdistorsi oleh model-model interaksi ekonomi kapital. Opreter memperlihatkan tegangan antara amatir sebagai etos dengan profesionalisme sebagai konstruksi pasar. Opreter secara lebih jauh melebarkan perspektif soal ketinampilan dan performativitas ketika dirinya hadir sebagai koreografer lantai dansa serta keseluruhan pesta.
Berangkat dari observasi atas gerak laku aktor-aktor di pesta ini, diciptakan sebuah koreografi yang menggunakan bentuk ‘goyang ragam’ yang tenar di pesta-pesta di Maumere. Koreografi ini dipresentasikan di sekolah sebagai materi senam, dicobakan di tenda-tenda pesta di Maumere juga dipublikasikan melalui media sosial. Maksudnya adalah mengembalikan seluruh riset ini kepada warga, ke basis ekologi penciptaannya, sebagai bagian dari dokumentasi dan arsip sosial. Pilihan presentasi ini juga menjadi upaya untuk terlibat dalam menawar dinamika pengembangan kultur tari dan musik di Maumere, Flores.